Pages

Kamis, 22 Januari 2015

Kunci Motor

Membicarakan soal pelupa sepertinya  tidak akan ada habisnya. Setiap orang setiap hari selalu berurusan dengan lupa, dari kategori ringan sampai tingkat parah. Begitu pula dampaknya, ada yang bikin geli, lucu, sebel , bahkan sampai bikin uring-uringan dan marah-marah baik terhadap diri sendiri maupun orang-orang dekat, terutama istri dan anak-anak.
Pengalaman ini hanyalah sebagian kecil dari setumpuk pengalaman lupa, juga termasuk paling sering terjadi terutama di kantor, dan teman-teman sejawat sudah tahu bahkan sering mengolok-olok dan mentertawakan kelakuan ini. Suatu hari berangkat ke kantor seperti biasa menggunakan sepeda motor, begitu sampai motor di standarkan di halaman kantor. Masuk pintu terus berjalan menuju ruang kerja pengawas. Tangan kanan menenteng map yang tadi disimpan di bagasi motor.
Belum sempat masuk ruang pengawas teringat dengan kunci motor, balik lagi menuju motor. Di lubang kunci ternyata tidak ada kunci menggantung, terus balik lagi ke meja kerja siapa tahu tadi diletakkan di sana, ternyata tidak ada. Meraba-raba saku baju dan celana juga tidak menemukan kunci motor itu. Kepala mulai pening, lagi pula belum ada teman-teman di kantor sehingga tidak bisa bertanya. Kalau pun ada rasannya paling ditertawakan bukannya memberi solusi, itu karena seringnya berurusan dengan lupa menyimpan kunci motor.
Mondar-mandir di kantor dari satu ruangan ke ruangan lain, dari satu meja ke meja lainnya, kunci tetap tidak ditemukan. Sementara tangan kanan tetap meneteng map yang sejak turun dari motor belum pernah dilepas atau diletakkan diatas meja. Setelah amper makin naik, sambil menahan rasa jengkel map yang dari tadi dibawa-bawa terus di simpan di atas meja rapat sambil sedikit dihentakkan. “Ih..dimana sih kunci motornya”.
Seiring jatuhnya map di atas meja terdengar bunyi “crek!!” cukup keras. Sambil sedikit kaget map diangkat, oh... ternyata itu kunci motor. Jadi dari tadi ternyata sang kunci sebenarnya dibawa-bawa kesana-kemari mondar-mandir digenggaman tangan sambil menggenggam map, tidak kelihatan karena memang terhalang map. Ohh..  ruarrr biasa. Persis cerita tukang kayu mencari pensilnya, padahal lupa diselipkan di telinganya. Dasarrrr pelupa!!!

(Sumber: pengalaman teman sekantor)

Senin, 19 Januari 2015

Bagaimana Bunyi Gendangnya Begitu Pula Tariannya

         Khalifah Umar bin Khatab adalah sahabat yang terkenal berwatak keras, berdarah panas dan suka berterus terang. Tetapi justru karena wataknya itulah, dia sering “dilabrak” orang. Sekalipun demikian semua kritik dan teguran diterimanya dengan lapang dada. Di sinilah letak kebesaran pribadi Umar bin Khatab.
Seperti hanya Khalifah Abu Bakar, maka Umar bin Khatab juga mengucapkan pidato, sewaktu dilantik menjadi khalifah. Isi pidatonya itu tidak jauh berbeda dengan pidato yang diucapkan Abu Bakar. Bahkan dalam beberapa bagian persis sama.
“Sesungguhnya aku telah dipilih menjadi khalifah untukmu, padahal aku bukanlah orang yang paling baik di antara kalian. Oleh karena itu, bila kalian melihat aku bertindak benar, maka bantulah aku. Sebaliknya, bila aku berbuat salah, betulkanlah aku…,” kata Khalifah Umar bin Khatab memulai pidato.
Mendengar pidato itu, maka berkatalah seorang sahabat bernama Sha’luq, “Demi Allah.” katanya, sehingga membuat yang lain terkejut, “Jika ketahuan oleh kami bahwa Anda tidak jujur…, maka kami akan segera membetulkan dengan ujung pedang ini!” teriaknya sambil mengacungkan pedang.
Kelancangan Sha’luq tentu saja mengejutkan semua orang yang hadir di situ. Namun, tidak ada seorang pun yang berani membuka mulut. Suasana menjadi tegang. Semua orang khawatir kalau-kalau khalifah yang baru itu naik pitam dan memukul Sha’luq. Tetapi ternyata Khalifah Umar tenang-tenang saja. Tidak sedikit pun nampak kemarahan di wajahnya. Bahkan sambil senyum dia menjawab, “Alhamdulillah……Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan ummat-Nya di tengah-tengah kita, yang sanggup membenarkan khalifahnya dengan ujung pedang!”
Maka suasana pun menjadi cerah kembali, sehingga upacara pelantikan berjalan lancar.
Memang aneh! Ketika pidato itu diucapkan oleh Abu Bakar, tidak seorang pun yang berani memotong. Apalagi mengancam akan membenarkan dengan ujung pedang. Tetapi ketika pidato itu keluar dari mulut Umar bin Khatab, ada orang yang berani memotongnya. Benarlah kata pepatah, “Bagaimana bunyi gendangnya, begitu pula gerak tariannya…”
Umar bin Khatab menjadi khalifah pada tahun 634 M hingga tahun 644 m.  


Sumber :  
Endang Basri Ananda (1998). Ketika Maut Telah Datang. CV Lugina

Senin, 12 Januari 2015

Sahabat Yang Paling Setia

         Pada malam 27 Syafar tahun ke-13 setelah kerasulan Muhammad, atau tanggal 12 September 622 M, rumah nabi Muhammad s.a.w. dikepung oleh orang-orang musyrik. Namun, berkat pertolongan Allah, beliau berhasil meloloskan diri dari kepungan mereka. Bahkan dapat membuat para pengepungnya tertidur nyenyak, sehingga beliau berhasil meninggalkan rumahnya menuju ke rumah Abu Bakar As-Shiddieq.
Sebenarnya pada waktu itu Abu Bakar sudah meninggalkan rumahnya hendak menjemput Rasulullah. Tetapi, untunglah, mereka bertemu di perjalanan, sehingga mereka dapat segera meninggalkan kota Mekah menuju gua Tsur. Memang beberapa hari sebelumnya, mereka sudah sepakat bersama-sama akan hijrah ke Madinah.
Dalam perjalanan ke Gua Tsur, Abu Bakar tampak seperti orang kebingungan. Sebentar-sebentar dia berjalan di depan Rasulullah, tetapi sebentar kemudian pindah ke belakangnya. Kadang-kadang ia berjalan di samping kiri, tetapi sebentar kemudian pindah ke samping kanan. Begitu berulang-ulang, sehingga Rasulullah merasa heran dan kemudian bertanya, “Ada apa ini Abu Bakar? Aku tidak mengerti akan perbuatanmu!”
“Ya, Rasulullah…,” jawab Abu Bakar kemalu-maluan, “Aku ingat akan pengintai, maka aku berjalan di depanmu. Aku juga ingat akan pengejarmu, maka akupun berjaln di belakangmu dan sekali di kanan, sekali di kiri.”
Tidak lama kemudian sampailan mereka di Gua Tsur.
Waktu itu hari masih gelap. Kaki Rasulullah menderita luka-luka karena tidak biasa berjalan dengan kaki telanjang. Maka duduklah beliau di depan mulut gua, sambil menanti Abu Bakar membersihkan gua itu, siapa tahu di gua itu ada ular berbisa atau kalajengking.
Abu Bakar sibuk bekerja di dalam gua . Sambil meraba-raba dalam gelap, dia menyingkirkan batu-batu dan menyapu tanah dengan pakaiannya sendiri. Ketika sedang membuang sebuah batu, tiba-tiba kakinya digigit ular. Namun tidak dirasakannya…! Selesai bekerja, dia segera mengajak Rasulullah beristirahat di dalam gua. Begitu masuk, Rasulullah segera tertidur di pangkuan Abu Bakar karena lelah. Pada saat itulah, Abu Bakar mulai merasakan sakit kakinya yang dugigit ular tadi. Akan tetapi, karena khawatir kalau-kalau Rasulullah terbangun, ditahannya sekuat mungkin, sehingga air matanya menetes ke wajah Rasulullah yang sedang tidur. Maka Rasulullah pun terbagun lantas menatap wajah Abu Bakar.
“Mengapa engkau menangis, wahai Sahabatku?” tanya Rasulullah.
“Kakiku digigit ular, ya Rasulullah…,” jawab Abu Bakar sambil menahan sakit.
“Mengapa kau tidak membangunkan aku?”
“Aku tidak sampai hati,” jawab abu Bakar dengan suara lirih.
Mendengar jawaban Abu Bakar demikian, Rasulullah segera bangkit untuk mengobati kaki sahabatnya yang sudah membengkak..
Abu Bakar As-Shiddieq memamg sahabat yang amat setia. Dialah yang pertama kali membenarkan kerasulan Muhammad s.a.w., selain istri Rasulullah, Siti Khadijah. Dia pula yang pertama-tama mengakui kebenaran Isra dan Nabi Mi’raj Muhammad s.a.w., sehingga dia diberi gelar “As-Shiddieq”, artinya yang benar dan membenarkan.
Kesetiaan Abi Bakar terhadap agama itulah yang menyebabkan Rasulullah sering mempercayakan tugas-tugas penting padanya, ketika Rasulullah mulai sakit menjelang wafat. Dan setelah Rasulullah wafat, Abu Bakar pula yang diangkat menjadi khalifah.
Setelah menjabat khalifah selama 2 tahun (632-634 M), pada tanggal 21 Jumadil Awwal tahun ke-13 Hijriyyah atau 24 Agustus 634 M., Khalifah Abu Bakar wafat.

Sumber :  
Endang Basri Ananda (1998). Ketika Maut Telah Datang. CV Lugina

Sabtu, 10 Januari 2015

Impian "Si Kuda Jantan"

Pada suatu hari, Nabi Muhammad s.a.w. sedang berada di Masjid Nabawi, Madinah bersama para sahabatnya. Tiba-tiba datanglah seorang laki-laki bertubuh tegap masuk ke dalam asjid. Mukanya tampak merah,penuh keringat. Matanya bersinar tajam, memancarkan keteguhan hati. Dari desah nafasnya nyata sekali bahwa dia baru saja melakukan perjalanan jauh.
Tanpa menengok ke kiri atau ke kanan, orang itu terus berjalan mendekati Rasulullah s.a.w.
“Ya, Rasulullah….” Katanya tanpa terlebih dulu memperkenalkan diri, “Saya baru saja melakukan perjalanan jauh selama sembilan hari sembilan malam sambil menahan lapar dan haus. Hal ini saya lakukan hanya karena ingin mendapatkan petunjuk dari Rasulullah. Apakah tanda-tanda manusia yang dicintai Allah dan apakah tanda-tanda manusia yang tidak dikehendaki Allah?” Tanya lelaki itu dengan tergopoh-gopoh.
Melihat sikap  orang itu, sebenarnya para sahabat Nabi merasa jengkel juga. Tetapi Rasulullah hanya tersenyum dan berkata, “Duduklah dulu, Sahabat….Bukankah kau belum memperkenalkan diri?”
 “Ya Allah …, sampai lupa saya....Nama saya Zaid, ya Rasulullah. Tetapi teman-teman memanggil saya Zaidul Khail. Zaid “Si Kuda Jantan!” jawab lelaki itu tersipu-sipu.
“Oh, kau bukanlah Zaidul Khail, tapi Zaidul Khair, yaitu Zaid yang mencintai kebajikan!. Nah, coba ulangi lagi pertanyaanmu tadi,” sahut Rasulullah.
“Apakah tanda-tanda orang yang dicintai Allah dan apakah tanda-tanda orang yang tidak dikehendaki Allah?” Tanya Zaid.
“Oh, begitu! Nah sekarang….., bagaimana perasaanmu setiap kali kau bangun pagi hari” Tanya Rasulullah.
Dengan semangat berkobar-kobar, berkatalah Zaid, “Si Kuda Jantan” itu, “Setiap saya bangun pagi, ya Rasulullah…., saya selalu merindukan kebajikan. Kemudian, saya pun ingin bertemu. dengan orang-orang yang suka berbuat kebajikan, dan ingin pula saya berbuat kebajikan. Bahkan bila dalam sehari saja saya tidak sempat berbuat kebajikan , hati saya merasa sedih sekali, ya Rasulullah…. Dan bila berbuat kebajikan, saya berusaha ikhlas; tidak mengharapkan apa-apa. Kecuali keridlaan Allah semata-mata…,” jawab Zaid dengan penuh perasaan.
“Nah, itulah tanda-tanda manusia yang dicintai oleh Allah subhanahu wata’ala,” sahut Rasulullah seraya tersenyum, sehingga hati Zaid merasa puas sekali.

Sumber :  
Endang Basri Ananda (1998). Ketika Maut Telah Datang. CV Lugina